Minggu, 21 September 2014

Bentuk ekonomi islam

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itusendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sangat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-Quran yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung.
Dalam perbankan syariah kita telah mengenal bahwa didalamnya tidak memakai prinsip bunga melainkan prinsip bagi hasil, yang mana prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah ini dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu; al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah dan al-musaqah. Didalam makalah ini akan dijelaskan tentang akad mudharabah saja.
Bank syariah juga mengadakan pembiayaan dalam bentuk jual beli, berbeda dengan bank konvensional yang tidak ada transaksi jual beli, didalam bank syariah ada 3 macam, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-istisna dan bai’ as-salam. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang bai’ al-murabahah saja.
AKAD MUDHARABAH
A.    PENGERTIAN AKAD MUDHARABAH
Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ضرب ) yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah, karena pekerja (mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk menjalankan bisnis. Sedangkan  perjalanan dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (فِي الْأَرْض ضرب ِ).
Dalam bahasa Iraq (penduduk Iraq) menamakannya mudharabah, sedangkan penduduk Hijaz menyebutnya qiradh. Qiradh berasal dari kata al-qardhu, yang berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah. Di dalam Al-Quran, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan istilah mudharabah. Al-Quran hanya menyebutkannya secara musytaq dari kata dharaba yang terdapat sebanyak 58 kali.
Beberapa ulama memberikan pengertian mudharabah atau qiradh sebagai berikut:
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah: ”Akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
Imam Hanabilah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ”Ibarat pemilik harta menyerahakan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ” Akad yang menentukan seseorang menyerahakan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan”.
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah: “Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarhakan dan keuntungan bersama-sama.”
Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa Mudharabah ialah: “Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalmnya diterima penggantian.”
Sayyid Sabiq berpendapat, Mudharabah ialah “akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian”.
Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah ”Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah  pemilik modal (shahibul maal), sedangkan  pihak lainnya menjadi  pengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan ditanggung shahibul maal.
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Dalam literatur lain (fiqh sunnah), mudharabah bisa disebut juga dengan qiradh yang berasal dari kata qardh yang berarti qathu (potongan) karena pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dalam rangka memperoleh keuntungan (laba).
Secara terminologi, merujuk Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam literatur lain, Mudharabah adalah Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/diusahakan. Laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
Dalam literatur lain, (Fiqh Muamalah : Nasroen Haroen) akad mudharabah adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama
Skema Mudharabah
Modal 100%
B.    JENIS AKAD MUDHARABAH
Dilihat dari transaksi (akad) yang dilakukan oleh shahibul mal dan mudharib, mudharabah terbagi menjadi :
•    Mudharabah Muqayyadah ( Restricted Investment Account ), yaitu bentuk kerja sama antara dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Dimana shahibul mal membatasi jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam istilah ekonomi Islam modern, jenis mudharabah ini disebut Restricted Investment Account. Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian. Syarat-syarat itu harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib melanggar batasan-batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.
Pembatasan pada jenis mudharabah ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya sekedar  ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan. Cara pencatatan mudharabah muqayyadah ada dua macam, yakni:
1.    Off Balance Sheet, ketentuan-ketentuannya yaitu:
    Bank Syari’ah bertindak  sebagai arranger süaja dan mendapat fee sbg arranger.
    Pencatatan transaksi di bank syari’ah secara off balance sheetü
    Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan debitur sajaü
    Besar bagi hasil sesuai  kesepakatan nasabah investor dan debiturü
2.    On Balance Sheet, ketentuan-ketentuannya yaitu:
    Nasabah Investor mensyarakatkan  sasaran pembiayaan dananya,ü seperti  untuk pertanian tertentu, properti,  atau pertambangan saja
    Pencacatan di bank Syari’ah secara on balance sheetü
    Penentuan nisbah bagi hasil atas kesepakatan bank dan nasabahü
•    Mudharabah Muthlaqah ( Unrestricted Investment account ), yaitu bentuk kerja sama antara shahibul mal dan mudharib tanpa syarat atau tanpa dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam bahasa Inggris, para ahli ekonomi Islam sering menyebut mudharabah muthlaqah sebagai Unrestricted Investment Account (URIA). Maka apabila terjadi kerugian dalam bisnis tersebut, mudharib tidak menanggung resiko atas kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggulangi shahibul mal.
•    Mudharabah Musytarakah, adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi. Diawal kerjasama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah bejalannya operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut, jenis mudharabah ini disebut mudharabah musytarakah merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.
C.    DASAR SYARIAH
a)    Sumber Hukum Akad Mudharabah
•    Dalil Qur’an
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Muzzammil [73]: 20)
Kata yang menjadi wajhud-dilalah atau argument dari ayat di atas adalah yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat (selesai wuquf), berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”. [Al-Baqarah (2): 198]
•    Dalil Hadist
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
”Adalah Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia menyerahkan sejumlah harta dalam investasi mudharabah, maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta itu tidak dibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak dibelikan kepada binatang,  Jika mudharib melanggar syarat2 tersebut, maka ia bertanggung jawab menanggung risiko. Syarat-syarat yang diajukan Abbas tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, lalu Rasul membenarkannya”.(HR ath_Thabrani). Hadist ini menjelaskan praktek mudharabah muqayyadah.
ثلاثة  فيهن  البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط البر  باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/ mudharabah, jual beli secara tangguh,  mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”.  (HR.Ibnu Majah).
عن عبد الله و عبيد الله ابني عمر أنهما لقيا  أبو موسى ألأشعري باالبصرة  منصرفهما من غزوة  نهاوند فتسلفا  منه مالا  وابتاعا منه متاعا و قدما به  المدينة  فباعاه و ربحا فيه  و أراد عمر أخذ رأس المال  الربح  كله  فقالا لو كان تلف  كان ضمنه علينا فكيف لا يكون الربح لنا  فقال رجل يا أمير المؤمنين  لو جعلته قراضا  فقال قد جعلته قراضا  وأخذ منهما نصف الربح (أخرجه مالك )
Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, keduanya anak Umar, bahwa keduanya bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, setelah pulang dari perang Nahawand. Keduanya menerima harta dari Abu Musa untuk dibawa ke Madinah (ibu kota). Di perjalanan keduanya membeli harta benda perhiasan, lalu menjualnya di Madinah, sehingga keduanya mendapat keuntungan. Umar memutuskan untuk mengambil modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua anaknya berkata,”Jika harta itu binasa, bukankah kami yang bertanggung jawab menggantinya. Bagaimana mungkin tak ada keuntungan untuk kami?”. Maka berkata seseorang kepada Umar,“Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau jadikan harta itu sebagai qiradh”. Umar pun menerima usulan itu. Umar berkata,”Aku menjadikannya qiradh”. Umar mengambil separoh dari keuntungan (50 % untuk Baitul Mal dan 50% untuk kedua anaknya).
Mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau mengetahui dan mengakuinya. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan Qiradh/ mudharabah. Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a yang kemudian menjadi istri beliau.
Di samping dalil Qur’an dan dalil Hadist di atas, para ulama juga berlandaskan pada praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya. Bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu berdasarkan dalil Qur’an, Hadist, dan praktik para sahabat, para ulama fiqih menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya maka hukumnya adalah boleh.
•    Ijma (kesepakatan) Ulama
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya mudharabah ialah kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kita tidak mendapatkan dalil tentang al-Qiradh (mudharabah) dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para ulama telah menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar dan dirham.” (Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi’i, 2/38).
Ibnu Hazm berkata, “Al-Qiraadh (al-Mudharabah) telah dikenal sejak zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para pedagang. Mereka tidak memiliki mata pencaharian selain darinya, padahal di tengah-tengah mereka terdapat orang tua yang tidak lagi kuasa untuk bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu, orang-orang yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada orang lain yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari hasil keuntungannya. Dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus, beliaupun membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga menjalankannya. Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi tentang hal ini, maka pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan, sebab ia telah terlebih dahulu menyelisihi praktik nyata seluruh umat dari zaman kita hingga zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, 8/247).
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa’ ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari para al-khulafa’ ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa’ul Ghalil oleh al-Albany, 5/290-294).
•    Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah. Mudharabah di qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hatanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golonngan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
•    Kaidah fiqh
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b)    Rukun dan Syarat Akad Mudharabah
Rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1.    Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
2.    Modal atau harta pokok (mal), syarat-syaratnya yakni:
•    Berbentuk uang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar), para ulama berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya Rp90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp90.000.000.
•    Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
•    Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Selain itu hal ini bisa membuka pintu perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si berhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi si berpiutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini para ulama fiqih tidak berbeda pendapat.
•    Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung
Apabila tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.
3)    Nisbah Keuntungan
Nisbah adalah besaran yg digunakan untuk pembagan keuntungan, mencerminkan imbalan yang berhak dterima oleh kedua pihak yang mudharabah atas keuntungan yang diperoleh. Pengelola dana mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kkedua pihak, inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan masing-mmasing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal tertentu karena dpt menimbulkan riba.
syarat-syaratnya yakni:
•    Proporsi jelas. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.
•    Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
•    Break Even Point (BEP) harus jelas, karena BEP menggunakan sistem revenue sharing dengan profit sharing berbeda. Revenue sharing adalah pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan kotor/ pendapatan. Sedangkan profit sharing adalah pembagian keuntungan dilakukan setelah dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan bersih.
4)    Ijab Qobul/Serah Terima
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
Sedangkan, menurut Ulama Hanafiyah, rukun mudharabah itu hanya satu, yaitu ijab (dari shahibul maal) dan kabul persetujuan (dari mudharib). Ulama hanafiyah menyatakan jika shahibul maal dan mudharib telah melafalkan ijab dan qabul maka akad mudharabah itu telah memenuhi rukunnya dan sah. Adapun rukun lainnya sebagaimana dinyatakan Jumhur Ulama, bagi Ulama Hanafiyah ke semua itu masuk sebagai syarat mudharabah
c)    Berakhirnya Akad Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan:  “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”
Imam Syafi’i menyatakan:  “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya.”
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka pemilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak kecuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.
Para ulama menyatakan bahwa akad mudharabah akan berakhir apabila :
•    Masing-masing pihak menyatakan akad batal, atau mudharib (Pengeola dana) dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau shahibul maal (Pemilik dana)  menarik modalnya.
•    Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri.
•    Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika shahibul maal yang wafat maka menurut Jumhur Ulama akad mudharabah itu batal, karena akad mudharabah sama dengan akad wakalah yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan. Selain itu, Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena menurut mereka akad mudharabah boleh diwariskan.
•    Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum, misalnya gila.
•    Modal habis di tangan shahibul maal sebelum dikelola oleh mudharib.
•    Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yag mengemban amanah ia harus beritikad baik dan hati-hati.
D.    PRINSIP PEMBAGIAN HASIL USAHA (PSAK 105 PAR 11)
Dalam mudharabah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena yang dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugiannya (loss). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam mudharabah yang dibagihasilkan adalah pendapatan.
Pendapatan terkecil adalah nol. Maka dimaksudkan kerugian dalam mudharabah adalah ketidak mampuan nasabah dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya, atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah diterimanya. Bila terjadi demikian, kerugian ditanggung oleh bank syariah, kecuali akibat:
 (1) nasabah melanggar syarat yang telah disepakati.
(2) nasabah lalai dalam menjalankan modalnya.


Contoh 1 :
Contoh perhitungan bagi hasil bagi dana pihak ketiga (tabungan/deposito masyarakat). Bapak ahmad memiliki deposito Rp 10.000.000,00 jangka waktu satu bulan (1 Desember 2000 s/d 1 januari 2001), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57%:43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito satu bulan per 31 desember 2000 adalah Rp 20.000.000,00 dan rata-rata deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp  950.000.000,00. Berapa keuntungan yang diperoleh Bapak Ahmad ?
Jawab:
Keuntungan diperoleh bapak Ahmad adalah :
(Rp 10.000.000,00/Rp 950.000.000,00) x 57 % x Rp 20.000.000,00 = Rp 120.000,00
Jadi, keuntungan yang diperoleh bapak Ahmad sebesar Rp 120.000,00
•    Contoh perhitungan pembiayaan mudharabah
Mudharabah ternak qurban sebesar Rp 10.000.000, dan nisbah bagi hasil 60:40 (bank : nasabah). Rencana pengembalian modal sekaligus tanggal 1 Maret. Ternyata aktualisasi hasil yang ada diperhitungkan sebesar Rp 1.000.000,00 maka perhitungannya:
Nisbah 60 : 40 aktualisasi hasil                   Rp 1.000.000,00
Profit bank  60/100 x Rp 1.000.000    =    Rp    600.000,00
Keuntungan nasabah                                      Rp    400.000,00
Jadi pembayaran ke bank tanggal 1 Maret  =  Rp 10.600.000,00
Contoh 2 :
Bank Jayen Syariah (BJS) melakukan kerjasama bisnis dengan Bapak Irfa, seorang pedagang buku di Pasar Shoping Yogyakarta menggunakan akad mudharabah (BJS sebagai pemilik dana dan Irfa sebagai pengelola dana). BJS memberikan modal kepada Irfa sebesar Rp 10.000.000 sebagai modal usaha pada Tanggal 1 Januari 2009 dengan nisbah bagi hasil BJS : Irfa = 30% : 70%. Pada tanggal 31 pebruari 2009, Irfa memberikan Laporan Laba Rugi penjualan buku sebagai berikut:
Penjualan                                Rp. 1.000.000
Harga Pokok Penjualan     (Rp.   700.000)
Laba Kotor                              Rp.    300.000
Biaya-biaya                           (Rp     100.000)
Laba bersih                             Rp     200.000
Hitunglah pendapatan yang diperoleh BJS dan Irfa dari kerjasama bisnis tersebut pada tanggal 31 Pebruari 2009 bila kesepakan pembagian bagi hasil tersebut menggunakan metode :
a. Profit sharing
b. Revenue sharing
Jawab:
a. Profit sharing
Bank Syariah         =  30% x Rp 200.000 (Laba bersih)    = Rp 60.000
Irfa                            =  70% x Rp 200.000                               = Rp 140.000
b. Revenue sharing
Bank Syariah         =  30% x Rp 300.000 (Laba Kotor)    = Rp 90.000
Irfa                            =  70% x Rp 300.000                              = Rp 210.000
E.    BAGI HASIL UNTUK AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH (PSAK 105 PAR 34)
Ketentuan bagi hasil untuk akad jenis ini dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu :
1.    Hasil investasi dibagi antara pengelola dan dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, dan atau
2.    Hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi antara pengelola dana dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah yg disepakati. Contoh : jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik.
Contoh :
Bapak Andry menginvestasikan uang sebesar Rp. 2.000.000,00 untuk usaha siomay yang dimiliki oleh bapak Budi dengan akad mudharabah. Nisbah yang disepakati oleh Bapak Andry dan bapak Budi adalah 1 : 3. Setelah usaha berjalan, ternyata dibutuhkan tambahan dana, maka atas persetujuan bapak Andry, bapak Budi ikut menginvestasikan uangnya sebesar Rp, 500.000,00. Dengan demikian bentuk akadnya adalah akad mudharabah musytarakah. Laba yang diperoleh untuk bulan Januari 2008 adalah sebesar Rp. 1.000.000,00.
Berdasarkan PSAK 105 Par 34 maka bagi hasil jika terdapat keuntungan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut ;
Cara 1 :
Hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati :
Bagian Andry : ¼ x Rp. 1.000.000,00 = Rp 250.000,00
Bagian Budi    : ¾ x Rp. 1.000.000,00 = Rp 750.000,00
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut (Rp. 1.000.000,00 – Rp. 750.000,00) dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing ;
Bagian Andry : Rp. 2.000.000,00/Rp. 2.500.000,00 x Rp 250.000,00 = Rp. 200.000,00
Bagian Budi    : Rp. 500.000,00/ Rp. 2.500.000,00 x Rp 250.000,00   =  Rp. 50.000,00
Sehingga Budi sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp. 750.000,00 + Rp. 50.000,00 = Rp 800.000,00, dan Andry sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp. 200.000,00
Cara 2 :
Hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing.masing.
Bagian Andry : Rp. 2.000.000,00/Rp. 2.500.000,00 x Rp 1.000.000,00 = Rp 800.000,00
Bagian Budi    : Rp 500.000,00/Rp.2.500.000,00 x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 200.000,00
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai musytarik) sebesar Rp. 800.000,00 (Rp.1.000.000,00 – Rp. 200.000,00) tersebut dibagi antara pengelola dana dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Bagian Andry : ¼ x Rp. 800.000,00 = Rp 200.000,00
Bagian Budi    : ¾ x Rp. 800.000,00 = Rp 600.000,00
Sehingga Budi sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp. 200.000,00 + Rp 600.000,00 = Rp. 800.000,00, dan Andry sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp. 200.000,00.
Jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik. Misalnya terjadi kerugian sebesar Rp. 1.000.000, maka Andry akan menanggung rugi sebesar :
Rp. 2.000.000,00/Rp 2.500.000,00 x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 800.000,00
Budi akan menanggung sebsasr :
Rp 500.000,00/Rp. 2.500.00,00 x Rp. 1.000.000,00 = Rp 200.000,00
F.    PERILAKU AKUNTANSI (PSAK 105)
Akuntansi untuk Pemilik Dana
1.    Dana mudharabah  yang disalurkan oleh pemilik dana diakaui sebagai investasi mudharabah  pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset  nonkas kepada pengelola dana.
2.    Pengukuran investasi mudharabah
a.    Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan.
b.    Investasi mudharabah dalam bentuk asset nonkas diukur sebagai nilai wajar asset non-kas pada saat penyerahan.
Nilai dari investasi mudharabah dalam bentuk asset non kas harus disetujui oleh pemilik dana dan pengelola dana pada saat kontrak.
Ada 2 alasan tidak digunakannya dasar historical cost untuk mengukur asset nonkas, (Siswanto, 2003)
a.    Penggunaan nilai yang disetujui oleh pihak yang melakukan kontrak untuk mencapai satu tujuan akuntansi keuangan.
b.    Penggunaan nilai yang disetujui (agreed value) oleh pihak yang melakukan kontrak untuk nilai asset nonkas menuju aplikasi konsep representational faithfulness dalam pelaporan.
Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebagai jumlah yang dibayarkan.
Jurnal pada saat penyerahan kas :
Dr. Investasi Mudharabah                                 xxxxxxxxxxxxx
Kr. Kas                                                                         xxxxxxxxxxxxx
Investasi Mudharabah dalam bentuk asset nonkas diukur sebesar nilai wajar asset nonkas pada saat penyerahan kemungkinannya ada 2, yaitu :
a.    Jika nilai wajar lebih tinggi daraipada nilai tercatattnya, maka selisihnya diakui sebagai keuntungan tangguhan diamortisasi sesuai jangka waktu akad mudharabah.
Jurnal pada saat penyerahan asset nonkas :
Dr. Investasi Mudharabah                                 xxxxxxxxxxxxx
Kr. Keuntungan Tangguhan                               xxxxxxxxxxxxxx
Kr. Aset Nonkas                                                     xxxxxxxxxxxxxx
Jurnal amortisasi keuntungan tangguhan :
Dr. Keuntungan tangguhan                              xxxxxxxxxxxxx
Kr. Keuntungan                                                     xxxxxxxxxxxxxx
b.    Jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai tercatatnya, maka selisihnya diakui sebagai kerugian dan akui pada saat penyerahan asset nonkas.
Jurnal :
Dr. Investasi Mudharabah                                xxxxxxxxxxxxx
Dr. Kerugian                                                          xxxxxxxxxxxxx
Kr. Aset Nonkas Mudharabah                          xxxxxxxxxxxxxx
3.    Penurunan nilai jika investasi mudharabah dalam bentuk  asset nonkas :
a.    Penurunan nilai sebelum usaha dimulai
Jika nilai investasi mudharabah turun sebelum usaha dimulai disebabkan rusak, hilang atau factor lai yang bukan karena kelalaian atau kesalahan pihak pengelola dana, maka penurunan nilai tersebut diakui sebagai kerugian dan mengurangi saldo investasi mudharabah.
Jurnal :
Dr. Kerugian investasi mudharabah                           xxxxxxxxxxxxx
Kr. Investasi Mudharabah                                               xxxxxxxxxxxx
b.    Penurunan nilai setelah usaha dimulai
Jika sebagian investasi mudharabah hilang setelah dimualinya usaha tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut tidak langsung mengurangi jumlah investasi mudharabah namun diperhitungkan pada saat pembagian bagi hasil.
Jurnal :
Dr. Kerugian Investasi Mudharabah                                                xxxxxxxxxxxxx
Kr. Penyisihan Investasi Mudharabah                                          xxxxxxxxxxxxx
Dr. Kas                                                                                             xxxxxxxxxxxxx
Dr. Penyisihan Investasi Mudharabah                                  xxxxxxxxxxxxx
Kr. Pendapatan                                                                              xxxxxxxxxxxxx
4.    Kerugian
Kerugian yang terjadi dalam suatu periode sebelum akad mudharabah berakhir, pencatatan kerugian yagan terjadi dalam suatu periode  sebelum akad meudharabah berakhir diakui sebagai kerugian dan dibentuk penyisihan kerugian investasi.
Jurnal :
Dr. Kerugian investasi mudharabah                                      xxxxxxxxxxxx
Kr. Penyisihan kerugian investasi mudharabah                xxxxxxxxxxxx
Catatan :
Tujuan dicatat sebagai penyisihan agar jelas nilai investasi awal mudharabah.
5.    Hasil Usaha
Bagian hasil usaha yang belum dibayar oleh pengelola dana diakui sebagai piutang.
Jurnal :
Dr. Piutang Pendapatan Bagi Hasil                                       xxxxxxxxxxxx
Kr. Pendapatan bagi hasil Mudharabah                              xxxxxxxxxxxx
Pada saat pengelola dana membayar hasil
Jurnal :
Dr. Kas                                                                                           xxxxxxxxxxxx
Kr. Piutang pendapatan bagi hasil                                        xxxxxxxxxxxx
6.    Akad Mudharabah berakhir
Pada saat akad mudharabah berakir, selisih antara investasi mudharabah setelah dikurangi penyisihan kerugian investasi ; dan pengembalian investasi mudharabah ; diakui sebagai keuntungan atau kerugian.
Jurnal :
Dr. Kas/Piutang/Aset Nonkas                                               xxxxxxxxxxxxx
Dr. Penyisihan Kerugian Investasi Mudharabah             xxxxxxxxxxxxx
Kr. Investasi Mudharabah                                                        xxxxxxxxxxxx
Kr. Keuntungan investasi mudharabah                                xxxxxxxxxxxx
ATAU
Dr. Kas/Piutang/Aset Nonkas                                               xxxxxxxxxxxxx
Dr. Penyisihan Kerugian Investasi Mudharabah             xxxxxxxxxxxxx
Dr. Kerugian invevstasi mudharabah                                 xxxxxxxxxxxxx
Kr. Investasi mudharabah                                                    xxxxxxxxxxxxx
7.    Penyajian
Pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat yaitu nilai investasi mudharabah dikurangi penyisihan kerugian (jika ada)
8.    Pengungkapan
Pemilik dana mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi mudharabah, tetapi tidak terbatas pada :
a.    Isi kesepakatan utama usaha mudharabah, seperti porsi dana, pembagian hasil usaha, aktivitas usaha mudharabah, dan lain-lain;
b.    Rincian jumlah investasi mudharabah bedasarkan jenisnya ;
c.    Penyisihan kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan ;
d.    Pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK  No.101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Akuntasi Untuk Pengelola Dana
1.     Dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar asset nonkas yang diterima.
2.    Pengukuran dana syirkah temporer
Dana Syirkah temporerdiukur sebesar jumlah kas atau nilai wajar asset nonkas yang diterima.
Jurnal :
Dr. Kas/Aset Nonkas                                               xxxxxxxxxxxxx
Kr. Dana Syirkah Temporer                                   xxxxxxxxxxxxx
3.    Penyaluran kembali dana syirkah temporer
Jika pengella dana menyalurkan kembali dana syirkah temporer  yang diterima maka pengelola dana mengakui sebagai asset (investasi mudharabah). Sama seperti akuntansi untuk pemilik dana. Dan ia akan mengakui pendapatan secara bruto sebelum dikurangi dengan bagian hak pemilik dana.
Jurnal pencatatan ketika menerima pendapatan bagi hasil dari penyaluran kembali dana syirkah temporer :
Dr. Kas/Piutang                                                         xxxxxxxxxxxx
Kr. Pendapatan yang belum dibagiakan           xxxxxxxxxxxxxx
Hak pihak ketiga atas bagian dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan tetapi belum dibagikan kepada pemilik dana diakui sebagai kewajiban sebesar bagi hasil yang menjadi porsi hak pemilik dana.
Jurnal :
Dr. Beban Bagi Hasil Mudharabah                             xxxxxxxxxxxx
Kr. Utang Bagi hasil Mudharabah                               xxxxxxxxxxxxx
Jurnal pada saat pengelola dana membayar bagi hasil :
Dr. Utang  Bagi hasil Mudharabah                              xxxxxxxxxxxx
Kr. Kas                                                                                 xxxxxxxxxxxxx
4.    Sedangkan apabila pengelola dana mengelola sendiri dana mudharabah berarti ada pendapatan dan beban yang diakui dan pencatatannya sama dengan akuntansi konvensional, yaitu :
Saat mencatatat pendapatan :
Dr. Kas/Pituang                                                                xxxxxxxxxxxxx
Kr. Pendapatan                                                                  xxxxxxxxxxxxx
Saat mencatat beban :
Dr. Beban                                                                           xxxxxxxxxxxxx
Kr. Kas/utang                                                                    xxxxxxxxxxxxxx
Jurnal penutup yang dibuat diakhir periode (apabila diperoleh keuntungan) :
Dr. Pendapatan                                                                xxxxxxxxxxxxx
Kr. Beban                                                                            xxxxxxxxxxxxx
Kr. Pendapatan yang belum dibagikan                      xxxxxxxxxxxxx
Jurnal ketika dibagikan hasil kepada pemilik dana :
Dr. Beban bagi hasil mudharabah-pemilik dana       xxxxxxxxxxxxx
Dr. Beban bagi hasil mudharabah-pengelola dana   xxxxxxxxxxxxx
Kr. Utang Bagi hasil mudharabah                                  xxxxxxxxxxxxx
Jurnal Penutup :
Dr. Pendapatan yang belum dibagikan                        xxxxxxxxxxxxx
Kr. Beban bagi hasil mudharabah-pemilik dana       xxxxxxxxxxxxx
Kr. Beban bagi hasil mudharabah-pengelola dana   xxxxxxxxxxxxx
Jurnal pada saat pengelola dana membayar bagi hasil :
Dr. Utang bagi hasil mudharabah                                  xxxxxxxxxxxxx
Kr. Kas                                                                                    xxxxxxxxxxxxx
Jurnal penutup yang dibuat apabila terjadi kerugian
Dr. Pendapatan                                                                   xxxxxxxxxxxxx
Dr. Penyisihan Kerugian                                                  xxxxxxxxxxxxx
Kr. Beban                                                                             xxxxxxxxxxxxxx
Catatan : Penyisihan kerugian disajikan sebagai akun kontrak dari dana Syirkah Temporer.
5.    Kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola dana diakui sebagai beban pengelola dana.
Jurnal :
Dr. Beban                                                                          xxxxxxxxxxxxxx
Kr. Utang lain-lain/Kas                                                  xxxxxxxxxxxxxx
6.    Di akhir akad
Jurnal :
Dr.  dana Syirkah temporer                                          xxxxxxxxxxxxxx
Kr. Kas/Aset Nonkas                                                         xxxxxxxxxxxxx
Jika ada penyisihan kerugian sebelumnya
Jurnal :
Dr. dana Syirkah Temporer                                           xxxxxxxxxxxxx
Kr. Kas/Aset Nonkas                                                       xxxxxxxxxxxxxx
Kr. Penyisihan Kerugian                                                xxxxxxxxxxxxxx
7.    Penyajian
Pengelola dana menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangan :
a.    Dana syirkah temporer dari pemilik dana disajikan sebesar nilai tercatatnya untuk setiap jenis mudharabah : yaitu sebesar dana syirkah temporer dikurangi dengan penyisihan kerugian (jika ada).
b.    Bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah ada diperhitungkan tetapi belum  diserahkan kepada pemilik dana disajikan sebagai pos bagi hasil yang belum dibagikan sebagai kewajiban.
8.    Pengungkapan
Pengelola dana mengungkapkan transaksi mudharabah dalam laporan keuangan :
a.    Isi kesepakatan utama usaha mudharabah, seperti porsi dana, pembagian hasil usaha, aktivitas usaha mudharabah, dan lain-lain;
b.    Rincian dana syirkah temporer yang diterima berdasarkan jenisnya;
c.    Penyaluran dana yanag berasal darai mudharabah muqayadah. Pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK No.101 tentang penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Asumsi pencatatan untuk pengelola dana yanag telah dibahas diatas menggunakan akas mudharabah muthalaqah, apabila akadnya mudharabah muqayyadah, dimana dana dari pemilik dana langsung disalurkan kepada pengelola dana lain (kedua) dan pengelola dana pertama henya bertimdak sebagai perantara yang mempertemukan anatara dana dengan pemgelola dana lai.
Pengelola dana lain (kedua); maka dana untuk jenis seperti iniakan dilaporkan Off Balance Sheet. Atas kegiatan tersebut pengelola dana pertama akan menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan anatara pemilik dana dan pengelola dana lain (kedua) berlaku nisbah bagi hasil.
G.     SIFAT AKAD MUDHARABAH
Imam Malik berpendapat bahwa jika dalam akad mudharabah (pekerjaan) kegiatan perdagangan telah mulai dilakukan oleh mudharib, maka akad tersebut mengikat kedua belah pihak dan akad tersebut tidak dapat dibatalkan sepihak oleh masing-masing pihak yang berakad. Beliau berpendapat bahwa jika akad (dalam konteks) tersebut dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pembatalan tersebut akan membawa mudharat kepada salah satu pihak lain, sedangkan memudharatkan orang lain tidak dibolehkan dalam syara’.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa akad mudharabah tidak bersifat mengikat sekalipun pekerjaan telah dimulai. Alasannya adalah bahwa mudharib (dalam konteks tersebut) telah melakukan tindakan hukum terhadap modal orang lain (shahibul maal) dengan se-izinnya. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu, seperti halnya akad titipan. Namun, jika akad itu dibatalkan secara sepihak maka pihak lain harus terlebih dahulu diberitahukan bahwa ia berencana untuk membatalkan akad mudharabah pada saat pekerjaan telah dimulai.
H.    HIKMAH DISYARIATKANNYA MUDHARABAH
Sebagaimana yang kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita dapatkan ada sebagian orang yang diberi kelebihan dalam hal harta kekayaan, akan tetapi ia tidak mampu untuk mengelolanya. Di sisi lain, didapatkan sebagian orang yang diberi kelebihan dalam hal pengelolaan harta kekayaan dan pengembangannya, akan tetapi ia tidak memiliki harta kekayaan yang dapat ia kelola, sehingga mendatangkan keuntungan yang diharapkan.
Dengan demikian, merupakan suatu hal yang sangat tepat dan bijak bila kedua jenis anggota masyarakat ini menyatukan potensi masing-masing, sehingga dapat mewujudkan keuntungan dan kekuatan ekonomi yang produktif. Sebagaimana akad mudharabah merupakan implementasi nyata dari asas ta’aawun atau bahu-membahu dalam hal yang bermanfaat secara umum dan dalam pengembangan ekonomi umat secara khusus. Bila asas ta’aawun yang diwujudkan dalam akad mudharabah ini berjalan sebagaimana mestinya, niscaya umat Islam dapat mempertahankan kejayaan dan kemuliaan martabatnya, sehingga dapat hidup mandiri tanpa bergantung kepada umat lain.
Imam al-Marghinani al-Hanafy berkata, “Akad mudharabah dihalalkan, karena benar-benar diperlukan oleh umat manusia. Karena di antara manusia ada orang-orang yang kaya akan harta benda, akan tetapi ia tidak pandai untuk mengelolanya. Sebagaimana di antara mereka ada orang-orang yang lihai dalam mengelola kekayaan, akan tetapi mereka miskin tidak memiliki modal usaha. Dengan demikian, sangat urgen untuk disyariatkan transaksi semacam ini, agar kemaslahatan kedua belah pihak, yaitu orang yang kaya (tapi tidak berpengalaman) dan orang yang cerdik (tapi tidak memiliki modal), orang yang miskin (tapi lihai) dan orang yang dungu (tapi kaya) dapat terwujud.” (Al-Hidayah Syarah al-Bidaayah oleh al-Marghinaani al-Hanafi, 3/202).
Umat Islam pada saat ini sedang merasakan betapa pahit dan kejamnya sistem perekonomian yang berasaskan riba. Umat Islam di belahan bumi manapun sedang merasakan betapa kejamnya penjajahan bangsa-bangsa lain melalui belenggu riba yang dari hari ke hari terus dililitkan kepada tubuh umat Islam. Saya optimis, bila kita mengembangkan ekonomi umat dengan asas syariat, di antaranya dengan menerapkan akad mudharabah secara luas, insya Allah dalam waktu singkat, harkat dan martabat umat Islam akan terangkat.
Di antara hikmah mulia dari akad mudharabah ialah masing-masing pihak yang menjalin hubungan kerjasama mudharabah mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, pengalaman dan lainnya. Sehingga pada suatu saatnya nati, pemilik moda dapat mengelola kekayaannya dengan sendiri. Sebagaimana pelaku usaha dapat merintis usaha dengan bermodalkan keahliannya dan modal yang berhasil ia kumpulkan dari hasil bagi hasil dengan pemodal pertama. Dan bila proses peningkatan potensi dan kemampuan, baik materi ataupun keahlian ini terus dijalankan secara berkesinambungan, niscaya pada saatnya nati, umat Islam akan terhindar dari penderitaan ekonomi dan sosial yang sekarang sedang menghimpit kita.
Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar akan dapat diwujudkan dalam dunia nyata, yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorangpun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.
I.    PEMBIAYAAN MUDHARABAH
a.    Mudharabah adalah suatu pengaturan ketika seseorang berpartisipasi dalam
menyediakan sumber pendanaan dari pihak lainnya menyediakan tenaganya, dan dengan mengikutsertakan bank, unit trust, reksadana atau institusi dan orang lainnya.
b.    Seorang mudharib yang menjalankan bisnis dapat diartikan sebagai orang pribadi, sekumpulan orang, atau suatu badan hokum dan badan usaha.
c.    Rabbul mal harus menyediakan investasinya dalam bentuk uang atau yang sejenisnya, selain dari pada piutang, dengan nilai valuasi yang disepakati bersama yang dilimpahkan pengelolaan sepenuhnya pada mudharib.
d.    Pengelolaan usaha mudharabah harus dilakukan secara khusus oleh mudharib dengan kerangka mandate yang ditetapkan dalam kontrak mudharabah.
e.    Keuntungan harus dibagi dalam suatu proporsi yang disepakati dalam awal kontrak dan tidak boleh ada pihak yang berhak untuk memperoleh nilai imbalan atau renumerasi yang ditetapkan dimuka.
f.    Kerugian financial dari kegiatan usaha mudharabah harus ditanggung oleh rabbul mal kecuali mudharib melakukan kecurangan, kelalaian atau kesalahan dalam mengelola secara sengaja atau bertindak tidak sesuai dengan mandat yang telah ditetapkan dalam peerjanjian mudharabah.
g.    Kewajiban rabbul mal terbatas sebesar nilai investasinya kecuali dinyatalkan lain dalam kontrak mudharabah.
h.    Mudharabh dapat bervariasi tipenya yang da[pat dengan satu atau banyak tujuan, bergulir atau periode tertentu.
Mudharib dapat menginvestasikan dananya dalam bisnis mudharabah dengan persetujuan rabbul mal.
Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1.    Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2.    Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam
Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut :
1.    Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a.    tabungan berjangka ; yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya. Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b.    Deposito biasa ; Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c.    Deposito khusus (special investment) ; Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.
2.    Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam
a.    Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:
b.    Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad
c.    Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja
d.    Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah.
J.    SISTEM MUDHARABAH DAN PERKEMBANGANNYA DI PERBANKAN SYARIAH
Sistem Mudharabah di perbankan syari’ah dalam mengaplikasikan sistem mudharabah sebagai berikut :
a)    Didalam praktik perjanjian dilaksanakan dalam bentuk perjanian baku (standart contract). hal ini membatasi atas kebebasan kontrak. Adanya pembatasan dimaksud, berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi oleh pihak dewan pengawas nasional.
b)    Bentuk akad produk mudharabah dibank syari’ah dimaksud, dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang disebu perjanjian bagi hasil.
c)    Dalam perjanjian tertulis akad perjanjian mudharabah disebutkan nisbah bagi hasilpemilik dana (shahibul mal) dan untuk pengelola dana (mudharib).nisbah bagi hasil ini berlaku sampai berakhirnya perjanjian.
d)    Pelaksanaan akad mudharabah terjadi apabila ada calon nasabah yang akan menabung atau meminjam modal dari bank syari’ah.
e)    Nasabah yang meminjam uang kemudian terlambat membayar bank tidak memberi denda , tetapi memberi peringatan.
f)    Sistem amanah (kepercayaan). Seseorang memperoleh kredit karena pihak bank mempunyai kepercayaan kepada peminjam.karena itu, pemberian krdit kepada seseorang karena ada kepercayaan dari pihak bank.kredit tnpa kepercayaan tidak mungkin terjadi, karena dikhawatirkan dana yang diserahkan kepada pihak disalahgunakan oleh pihak nasabah dan/atau tidak dibayar/dikembalikan kepada pihak bank pinjaman yang dimaksud.
Selain menggunakan sistem yang digunakan diatas , phak perbankan syari’ah berpedoman pada undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan.undang-undang dimaksud, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan berdaarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihah n yang dapat dipersamakan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentudengan imbalan atau bagi hasil.oleh karena itu , sebelum pihak bank mengeluarkan kredit terlebih dahulu calon peminjam memenuhi persyaratan sebagai prosedur yang diatur oleh per undang-undangan agar terjadi ketertiban dan mendapat kredit .
Untuk mendapatkan pinjaman dari pihak bank yang dikemukakan diatas, mengenai prosedur permohonan pembiayaan, yaitu mulai dari prosedur permohonan pembiayaan, yaitu mulai dari prosedur permohonan , pengisian formulir, dan smapai mendapatkan kredit dari pihak bank , maka dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :
a)    Calon nasab mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis kebank pelaksanaan terdekat, yang alamat/tempat tinggalnya (calon nasabah) termasuk wilayah kerja (daerah hukum) bank yang setuju dan sesuai dengan bidang atau sekor konomi yang ditentukan.
b)    Calon nasabah mengisi daftar isian /formulir/blanko yang telah isediakan oleh pihak bank.
c)    Bank melakukan penelitian/menganalisis terhadap dana yamg tersedia (plafond pembiayaan) dan pribadi calon nasabah.
d)    Setelah bank selesai mengadakan analisisdan semua persyaratan terpenuhi maka dilakukan penandatanganan perjanjian pembiayaan dan pengikatan perjanjian.
e)    Penarikan pembiayaanatau pencairan pembiayaan /relisasi pembiayaan.hal ini berarti calon nasabah memperoleh kredit dengan sendirinya calon nasabah menjadi nasabah.
Berdasarkan hal diatas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pihak bank dalam menilai si pemohon pembiayaan mengenai kelayakan untuk memperoleh pinjaman adalah sebagai berikut :
1.    Karakter (charakter), yaitu sifat pribadi termasuk perilaku permohonan pembiayaan perlu dibahas dan diteliti secara hati-hati oleh pihak bank.
2.    Kemampuan(capability), yaitu penilaian atas besrnya modal nasabah yang akan diserahkan dalam perusahaan.
3.    modal (capital), yaitupenilaian atas besarnya modal nasabahyang diserahkan dalamperusahaan.
4.    Persyaratan (condition), yaitupada umumnya adalah penilaian terhadap kondis ekonomi, regional,nasional,maupun internasional terutama yang berhubungan dengan sektor usaha nasabah dan keamanan kredit itu sendiri
5.    Jaminan (collateral).istilah ini berarti jaminan tambahan karena jamnan utama adalah pribadi yang dinilaibonafiditasdan solidaritasnya.
K.    TABUNGAN MUDHARABAH
Contoh Perhitungan Tabungan Mudharabah:
1.    Tabungan Mudharabah (TABAH) adalah simpanan pihak ketiga di Bank islam yang penarikanya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kalli sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini bank islam sebagai Mudharib dan deposan sebagai shohibul mal
Bank sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada shohibul mal sesuai dengan nis yang telah disetujui bersaama. Pembagian keuntungan dapat di lakukan setiap bulan berdasarkan Saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut
Contoh perhitunganya adalah, Saldo rata-rata Tabungan Mudharabah Tuan B di bank Islam sebesar Rp 500.000. nisbah bagi hasil 50%:50%.dan diasumsikan total saldo dana tabungan mudharabah di bank Islam Rp 100 juta.dan keuntungan yang diperoleh untuk dana tabungan sebesar Rp 3 juta.maka pada akhir bulan nasabah akan memperoleh dana bagi hasil
Rp. 500.000 x Rp 3.000.000 x 50 % = Rp 7.500
Rp 100.000.000 ( belum termasuk Pajak)
2.    Deposito mudharabah.
Deposito mudharabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga ( perseroan atau badan Usaha) yang penarikanya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu jatuh tempo, dengan mendapatkan imbalan bagi hasil.
Imbalan dibagi dalam bentuk berbagai pendaptan atas penggunaan dan tersebut secara syariah dengan proporsi pembagian katakanlah 70: 30, 70% untuk deposan dan 30% untuk bank. Sedangkan jangka waktu deposito mudharabah berkisar antara 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 Bulan.
Contoh Prnghitunganya, Tuan A menempatkan dana Deposito Investasi mudharabah di bank sebesar Rp 1 juta.jangka waktu 1 bulan,nisbah bagi hasil 70%:30%(70 untuk nasabah dan 30 untuk bank).diasumsikan total dana deposito mudharabah di bank Rp 250 juta dan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito sebesar Rp 6 juta. Maka saat jatuh tempo nasabah akan memperoleh bagi hasil Rp1.000.000xRp6.000.000×70%=Rp16.800
Rp 250.000.000 ( belum termasuk Pajak).
L.    CATATAN  LAINNYA TERKAIT AKAD MUDHARABAH
1.    Dalam mudharabah bahwa modal yang ada di mudharib berstatus amanah, sehingga mudharib layaknya berperan sebagai wakil dari shahibul maal.
2.    Dalam mudharabah muthlaqah, sekali pun mudharib bebas mengelola modal untuk usaha yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan, namun mudharib tidak diperbolehkan meng-utangkan modal tersebut kepada pihak lain (pihak ketiga). Mudharib juga tidak bolehkan me-mudharabah-kan kepada pihak lain, kecuali atas se-izin shahibul maal dan dalam konteks tertentu misalnya di industri perbankan syariah; bank syariah dapat me-mudharabah-kan dana dari nasabah simpanan (dengan akad mudharabah) kepada nasabah pembiayaan (atas dasar/prinsip mudharabah) mengingat hal tersebut sudah diketahui kedua belah pihak pada saat penandatanganan perjanjian pembukaan rekening simpanan.
3.    Dalam hal upah bagi mudharib apakah boleh diambil dari modal shahibul maal, maka terdapat perbedaan di antara ulama fiqih. Menurut Imam Syafi’i bahwa pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal shahibul maal sekalipun dalam hal bepergian untuk keperluan dagang, kecuali atas se-izin shahibul maal. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ulama Zaidiyah, jika pekerja memerlukan dana transport dan atau akomodasi dalam rangka bepergian untuk perdagangan maka ia boleh mengambil biaya dimaksud dari modal. Menurut Ulama Hanabilah, pekerja boleh saja mengambil biaya hidupnya dari modal itu selama ia mengelola modal itu, apakah untuk biaya bepergian atau tidak.
4.    Dibolehkan menyediakan sejumlah aset (capital) dalam rangka menjamin keseriusan mudharib untuk bekerjasama.
KESIMPULAN
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang di tuangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu di akibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Jenis- jenis mudharabah:
a)    Mudharabah Muthlaqah.
Adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh sering kali di contohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b)    Mudharabah Muqayyadah.
Mudaharabah muqayyadah ini kebalikan dari mudharabah muthlaqah , si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis duania usaha.
c)    Mudharabah Musytarakah
adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau
dananya dalam kerjasama investasi. Diawal kerjasama, akad yang disepakati
adalah akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah
bejalannya operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan
dengan pemilik dana, pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha
tersebut, jenis mudharabah ini disebut mudharabah musytarakah merupakan
perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.
Aplikasi dalam perbankan, Mudharabah biasanya di terapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah di terapkan pada:
a)    Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito berjangka.
b)    Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah di terapkan untuk:
a)    Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b)    Investasi khusus, di sebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan oleh shahibul maal.
A. Pengertian muzara’ah
          Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.  “Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”.Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai berikut:
“Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”.
          Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.
           Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.

B. Dasar hukum muzara’ah
          Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.(Hadits Riwayat Bukhari)
          Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

C. Rukun dan syarat muzara’ah
           Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.[7]
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
  1. Pemilik tanah
  2. Petani penggarap
  3. Objek al-muzaraah
  4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
       
          Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1.      Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.
          Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1.      Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3.      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4.      Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5.      Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

D. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah
          Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah melarang dilakukannya muzara`ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil Hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya (muzara`ah). Bunyi Haditsnya sebagai berikut:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِحَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang.
              (H.R. Bukhari).
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.
Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari)
عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)
          Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw melarang menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi hasil dari hasil pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Rafi’ ibnu Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong dari sabda Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah tersebut sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih mengetahui hadits tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah melarang menyewakan tanah dikarenakan pada suatu hari ada dua orang saling bunuh membunuh disebabkan masalah penyewaan tanah yang tidak adil tersebut, maka keluarlah hadits tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع
Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)
          Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzara’ah) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.
          Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.
          Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول: إن رسول الله نهى عنها، فذكرت لطاوس فقال: قال لي أعلمهم (يقصد ابن عباس) إن رسول الله لم ينه عنها ولكن قال: لأن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخذ عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة
“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan, hingga aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,”Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas ra),”Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya berkata,”Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
          Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:
1.      Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
2.      Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
          Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.

E. Aplikasi dan perhitungan pembagian hasil
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
          Menyangkut pembagian hasil tanah dari perjanjian bagi hasil ini dalam ketentuan hukum Islam ditemukan petunjuk seperti setengah, sepertiga, seperempat atau lebih dari itu atau pula bisa saja lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (pemilik tanah penggarap tanah), sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ فَكَانَ يُعْطِى أَزْوَاجَهُ كَلَّ سَنَةٍ مِائَةَ وَسْقٍ ثَمَانِينَ
Artinya: Dari Ibnu Umar ra katanya, “Rasulullah Saw telah menyawakan kebun kurma dan sawah di desa Khaibar dengan seperdua hasilnya.(Hadits Riwayat Muslim).
عن عبد الله رضي الله عنه قال : أَعْطَى رَسُولُ الله صَلى اللهُ عَلَيْه وَ سَلَّم خَيْبَرَ لِلْيَهُوْد أَنْ يَعْمَلُوْهَا وَيَزْرَعُوْهَا وَلَهُمْ شَطْر مَا يَخْرُج مِنْهَا
Artinya: Dari Abdullah ra, berkata, “Rasulullah Saw memberikan lahan pertanian Kaibar kepada orang-orang yahudi untuk mereka kelola dan tanami, dan bagi mereka separuh hasilnya.” (Hadits Riwayat Bukhari)             
عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن الأسود قال : كان عماي يزرعان بالثلث والربع وأبي شريكهما وعلقمة والأسود يعلمان فلا يغيران
Artinya: Dari Abu Ishaq dari Abdurrahman ibnu Al-Aswad berkata: “Kedua pamanku dan ayahku pernah menggarap sawah, dengan perjanjian mereka mendapatkan bagian sepertiga atau seperempat. Ketika Al-Qamah dan Al-Aswad tahu, maka keduanya tidak melarang.”
               (H.R. An Nasa’i)
              
          Dari beberapa Hadits di atas bahwa pembagian pendapatan dari hasil kerjasama lahan pertanian (Muzaraah) antara pemilik tanah dan penggarap bisa disepakati dengan  setengah (50% untuk pemilik tanah dan 50% untuk petani penggarap), sepertiga (satu untuk pemilik tanah dan tiga untuk penggarap) atau seperempat (satu untuk pemilik tanah, dan empat untuk penggarap) atau juga bisa kurang atau bisa lebih dari itu, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.
          Namun dalam kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah pertanian semangkin berkurang dan disisi lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya. Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap, jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
          Untuk itu pemakalah mengusulkan supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat yang diatur oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini adalah antara petani pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana  adanya keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.
          Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, Pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:
“Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:
  1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
  2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
  3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.
          Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.
          Besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam ditempatkan oleh Bupati/Walikotamadya dengan mempergunakan pedoman sebagai berikut:
  1. Oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah berdasarkan usul dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta instansi-instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya dengan terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan Kepala Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desanya.
  2. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan penen sebagaimana dimaksud dalam pasal huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahaun 1960 dinyatakan dalam bentuk natura pada gabah sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang besarnya di bawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan atau dalam bentuk rumus sebagai berikut:

Z = 1/4X
Keterangan: Z: Biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak atau tenaga tanam dan panen. X: Hasil kotor.
  1. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus 2 di atas, dibagi dua sama besar antara penggarap danpemilik, atau dalam bentuk rumus sebagai berikut:
            Hak penggarap = hak pemilik =    
  1. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap di atas hasil produksi rata-rata daerah tingkat II/kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik ditetapkan sebagai berikut:
a.       Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus 1.
b.      Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan bagian, 4 bagian dari penggarap dan 1 bagian dari pemilik atau dalam bentuk rumus (rumus II) sebagai berikut:
Hak Penggarap: 
                          +
Hak pemilik:
                       +                                                                                                                                                                                                                                
Ke                   keterangan Y: Hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan.
  1. Jika disuatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan pada rumus 1 dan II di atas, maka tetap diperlakukan im bangan yang lebih menguntungkan penggarap.
  2. Ketetapan Bupati/Walikotamadya kepala daerah mengenai besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik serta hasil produksi rata-rata tiap Ha di daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan, diberitahu kepada DPRD tingkat II setempat.
  3. Sesuai dengan penjelasan pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, zakat disisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisab untuk padi (ditetapkan sebesar 14 kwintal).
  4. Sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 pemberian “sromo” oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.
  5. Sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk membebankan kepada penggarap.
Contoh rumus 1:
Disuatu daerah tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya ditetapkan bahwa hasil produksi rata-rata 1 hektar sawah adalah sebesar 2000 kg gabah, dan dari hasil pengolahan ternyata hasil yang diperoleh hanya sebesar 1800 kg. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Rumus:
Hak penggarap = hak pemilik
            
Hasil akhir:
1.      Untuk penggarap = 450 + 675 = 1125 Kg.
2.      Untuk pemilik     = 675 Kg.
Contoh rumus II.
          Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 1800 kg gabah, ternyata setelah diolah hasil produksi mencapai 3000 kg gabah.
Maka pembagiaanya adalah sebagai berikut:
Untuk penggarap = 1125 kg
Untuk pemilik     = 675 kg
Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata, yaitu 3000 – 1800 = 1200 kg. Sisanya ini dibagi dengan rumus II.
Rumus:
Hak penggarap =  +
Keterangan: Y: Hasil produksi rata-rata daerah tingkat II
X: Hasil kotor
Z: Biaya bibit, sarana produksi,tenaga tanam dan panen lainnya.
                         = 1125 +
Hak Pemilik    =    +
                        = 675 +
Hasil Akhir:
Hak Penggarap = 1125 kg + 960 kg = 2085 kg
Hak Pemilik     = 675 kg + 240 kg = 915 kg.

F. Implikasi atau dampak dari sistem muzara’ah
          Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
  1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
  2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
  3. Dapat mengurangi pengangguran.
  4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
  5. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.

G. Berakhirnya Muzara’ah
          Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:
  1. Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
  2. Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
  3. Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
  4. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.



MUSAQAH
A. Pengertian Musaqah.
Secara etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga berubah menjadi musaqah.
Secara terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad yang lain, namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itu sendiri..
Wahbah Zuhaily yang tenar sebagai Fuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:
عبارة عن العقد على العمل بالشجر ببعض الخارج, او هي معاقدة على الاشجر الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما
"Musaqah secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya. "
Pengistilahan az-Zuhaily tersebut berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah adalah:
ان يعامل شحص يملك نخلا اوعنبا سخصا اخز على ان يباشر ثنيهما النخل او العنب بالسقي والتربية والحنظ ونحو ذالك وله في نظير عمله جزاء معين من الثمر اللذي يخرج منه
“Orang yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”
Imam al-jaziri, penulis kitab madzahibul Arba’ah merumuskan pengertian musaqah sebagai berikut: “akad untuk memelihara pohon ; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Hasby as-shiddiqy yang dikenal sebagai ahli hukum islam Indonesia mengartikan musaqoh secara global dan ringkas, yakni:
شركة زراعية على استثمار الشجر
“ kerjasama perihal tanaman menyangkut buah-buahan dari pepohonan”.
B. Pendapat ulama mengenai Musaqah dan Landasan Hukumnya.
1. Pendapat yang membolehkan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.
Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رفع ال يهود خيبر نخل خيبر وارضنا على ان يعملوها من اموالهم ولرسولله صلى الله عليه وسلم شطر ثمرها (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam satu riwayat juga disebutkan:
انه صلى الله عليه وسلم سا قاهم على نصف ما تخرجه الرض والثمرة (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah saw. Mengadakan transaksi muusaqah dengan mereka (Yahudi Khaibar) atas separuh dari hasil tanah dan buah”(HR. Bukhari-Muslim).
Menurut Imam Malik bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Ulama-ulama fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.
2. Pendapat yang tidak membolehkan.
Ibnu Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggaan ini berlawanan dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang belum terjadi.
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut terlarang.
Jika dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang pada awalanya sudah mengharamkan akad muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan pengikutnya menyamakan musaqah dan muzara’ah karena Illat yang paling mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah hasil dari akad ini belum ada ( المعدوم) dan tidak jelas (الجهالة) ukurannya sehingga keuntungan yang dibagi sejak semula tidak jelas.
Landasan hadits yang digunakan Abu hanifah adalah :
من كانت له ارض فليزرعها ولا يكريها بثلث ولا بربع ولا بطعام مسمى (متفق عليه)
“ barangsiapa yang memiliki tanah hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan memakan yang ditentukan”
3. Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini adalah pendapat golongan syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai .
Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه وامره ان يخرص العنب وتوءديزكاة النخل تمرا (اخرجه ابو داوود)
“Rasulullah saw. mengutus utab dan menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar)”
Dalam hadits diatas disebutkan tentang penentuan melalui taksiran atas tangkai pada pohon kurma dan anggur, hal itu berkenaan dengan zakat. Maka seolah-olah syafi’I mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat. Dawud (ad-dzahiri-pen.) menolak hadits ini dengan alasan hadits tersebut mursal dan yang meriwayatkan hanya Abdurrahman bin Ishaq, padahal ia bukan orang yang kuat hafalan dan integritasnya.

C. Perbedaan Musaqah dan Muzara’ah.
Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu:
1. Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
2. Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
4. Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.
D. Rukun dan Syarat Musaqah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.


Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu berikut ini.
1. Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal
2. Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3. Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4. Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang khaibar.
5. Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Secara rinci, Sayyid Sabiq mengemukakan syarat-syarat musaqaah sebagai berikut .
a. Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas
b. Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
Menurut kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang.
c. Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
d. imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah

E. Ketentuan-ketentuan Lain dalam Pelaksanaan Musaqah.
a. Tugas Penggarap.
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah bahwa musaqi berkewajiban mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan pertumbuhan batangnya.
Adapun yang dimaksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang tiap tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (incidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
b. Hukum Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1. Hukum musyaqah Sahih
Musyaqah sahih menurut para Ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan .
Menurut Ulama Hanafiyah, hukum musyaqah sahih adalah berikut ini.
a. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada para penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
g. Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
Ulama Malikiyah pada umunya menyepakati hokum-hukum yang ditetapkan ulam Hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan:
a. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan
b. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain
Ulama Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap di atas, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
2. Hukum dan Dampak Musyaqah Fasid
Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah, antara lain:
1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan
4. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad
5. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian
6. Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan
8. Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak musyaqah fasid menurut para ulama:
1. Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun
c. Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah
2. Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila musyaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan musyaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh musyaqah fasidah menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika musyaqah rusak karena kemadaratan atau ada halangan, masalah musyaqah tetap diteruskan sekadarnya (musyaqah mitsil).
3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam musyaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan musyaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan uang dengan jumlah yang ditentukan; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja; mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.
c. Habis Waktu Musyaqah
Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara:
1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.
Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik
c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti pembiayaan.
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaanya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
Di antara uzur yang dapat membatalkan musyaqah:
a. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
b. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.
Menurut Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggungjawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.
Musyaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanabilah.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan musyaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi tanggungjawabnya tetap ditangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

F. Masalah-masalah yang Terjadi dalam Musaqah.
a. Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Apabila penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon, orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musaqah adalah batal, apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah yang di musaqah-kan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan utuk menggarapnya.

b. Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya, maka dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang, karena dialah yang berhak memotong atau memetik
3. Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai harganya (uang).


G. Relevansi Musaqah dalam Perekonomian Modern.
Musaqah seperti yang sudah dibahas sebelumnya merupakan akad kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan.
Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai objek musaqah, tentuna yang lebih relevan adalah pendapat yang memboilehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya melalui sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah ditentukan pada awal akad.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar